Sang Thothon

Selasa, 03 Desember 2013

Tugu Pahlawan Tak Dikenal Bukittinggi


Tugu Pahlawan Tak Dikenal terletak tepat di seberang Taman Monumen Bung Hatta, di Jl. Jam Gadang Bukittinggi, Sumatera Barat. Perlu sedikit berhati-hati ketika berjalan kaki menyeberangi Jalan Jam Gadang menuju Tugu Pahlawan Tak Dikenal karena lalu lintas kendaraan yang cukup ramai.
Tugu Pahlawan Tak Dikenal
Tugu Pahlawan Tak Dikenal dibangun di tengah sebuah bidang bundar yang dihias tanaman, dengan ukiran wajah-wajah raksasa bertaring dengan mata melotot yang dililit naga pada batang tugu yang mengerucut. Di puncaknya berdiri patung pemuda memegang tongkat dengan gaya seorang konduktor.
Tugu Pahlawan Tak Dikenal
Sebuah prasasti di samping Tugu Pahlawan Tak Dikenal.
Prasasti ini yang menceritakan bahwa tugu dibangun untuk mengenang perlawanan para pahlawan yang namanya tak bisa dikenali, yang menjadi korban dalam pergolakan yang terjadi pada Juni 1908 dalam menentang diberlakukannya sistem pajak oleh Belanda yang diberlakukan sejak 1 Maret 1908, yang memberatkan rakyat.
Tugu Pahlawan Tak Dikenal
Kutipan tulisan Muhammad Yamin yang berbunyi: “Pahlawan Tak Dikenal, mati luhur tak terkubur, memutuskan jiwa meninggalkan nama, menjadi awan di angkasa, menjadi buih di lautan, semerbak harumnya di udara”.
Tugu Pahlawan Tak Dikenal
Relief raksasa pada batang Tugu Pahlawan Tak Dikenal tampaknya dimaksudkan untuk menggambarkan wajah angkara murka kolonial Belanda dalam menguras kekayaan negeri dan membebani pajak kepada rakyat.
Tugu Pahlawan Tak Dikenal
Kepala ular naga yang tengah menggigit mulut raksasa berada di bagian dasar Tugu Pahlawan Tak Dikenal. Relief perjuangan digambarkan pada dinding-dinding Tugu Pahlawan Tak Dikenal ini.



Tugu Pahlawan Tak Dikenal
Seorang wanita tengah berjalan melintas di depan Tugu Pahlawan Tak Dikenal. Patung pemuda yang berdiri di puncak tugu itu rupanya sebelumnya digambarkan tengah memegang bendera, namun diganti oleh tongkat konduktor setelah patung aslinya tersambar petir.
Tugu Pahlawan Tak Dikenal
Di sekeliling Tugu Pahlawan Tak Dikenal ini terdapat taman, dengan tempat duduk yang bisa digunakan untuk bersantai. Pejalan juga bisa sejenak beristirahat di sekitar Tugu Pahlawan Tak Dikenal seperti seorang pengendara sepeda motor pada foto di atas.
Tugu Pahlawan Tak Dikenal diciptakan oleh seniman Hoerijah Adam, yang peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Jenderal AH Nasution pada 15 Juni 1963, dan diresmikan pada tahun 1965.

Sejarah

Pada sebuah prasasti di sekitar tugu yang ada saat ini tertera: tugu ini dibangun untuk mengenang perlawanan para pahlawan yang namanya tak bisa dikenali, yang menjadi korban dalam pergolakan yang terjadi pada Juni 1908 dalam menentang diberlakukannya sistem pajak oleh Belanda. Namun demikian, monumen ini sebetulnya dibangun sewaktu pemerintah Soekarno untuk memperingati kemenangan tentara pusat dalam menundukkan PRRI di Minangkabau. PRRI merupakan sebuah gerakan yang menuntut adanya otonomi daerah yang lebih luas. Namun, gerakan ini justru dianggap sebagai sebuah pemberontakan oleh Soekarno sehingga diganjar dengan serangkaian operasi militer (pengerahan pasukan militer sewaktu PRRI ini merupakan yang terbesar yang pernah tercatat di dalam sejarah militer Indonesia). Dengan demikian, menurut sejarawan Suryadi Sunuri, monumen ini tak lain adalah "lambang penaklukan tentara pusat terhadap orang Minang". Keberadaan monumen ini terus dipertahankan sampai sekarang karena militer Indonesia memegang peran kuat di Sumatera Barat setelah PRRI berakhir, "dan tentu saja selama Orde Baru, tidak ada yang berani mencongkel-congkel monumen ini, tempat dilekatkannya lambang supremasi (tentara) pusat di Minangkabau".
Monumen ini dibangun pada tahun 1959, sesudah Bukittinggi diduduki pasukan Resimen Team Pertempuran (RTP) Brawijaya pada bulan Mei 1958, dan diresmikan pada tahun 1965. Namun, catatan lain menyebutkan, peletakan batu pertama monumen ini dilakukan oleh Jenderal Abdul Haris Nasution pada 15 Juni 1963.

Cukup mengherankan, monumen lambang penaklukan tentara Pusat terhadap orang Minang (PRRI) itu tetap berdiri tegak sampai kini, berbeda dengan monumen-monumen peninggalan Belanda di Sumatera Barat yang umumnya diratatanahkan selepas Belanda hengkang dari Ranah Minang/Indonesia. Ini jelas dimungkinkan oleh militer Indonesian yang memegang peran makin kuat di Sumatera Barat setelah PRRI berakhir. Dan tentu saja selama Zaman Orde Baru, tidak ada yang berani mencongkel-congkel monumen ini, tempat dilekatkannya lambang supremasi (tentara) pusat di Minangkabau.
Bukittinggi yang terkesan lengang dalam foto ini mungkin juga merekam keadaan yang sebenarnya. Peristiwa PRRI, yang dianggap oleh Jakarta sebagai ‘aksi makar’, telah menyibakkan orang Minangkabau ber-dunsanak dan ber-ipa bisan. Banyak kampung jadi lengang bagai disemba garudo, karena penduduknya lari ke luar Sumatera Barat, termasuk ke Jawa, untuk menghindari perang itu. (’Jika takut di ujung bedil, larilah ke pangkalnya’). Selama perang (1958-1961) banyak orang lari dari kampungnya, pergi ijok ke hutan-hutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar